Tugas I
Bali
Penduduk : Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali tanpa diimbangi kesadaran dan perilaku masyarakat menjadi salah satu penyebab semakin terdesaknya kearifan lokal dan kerusakan lingkungan di Pulau Bali.Desakralisasi merupakan transformasi dari sekulerisasi budaya yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan terjadinya penyusutan (degradasi) terhadap kearifan lokal seperti organisasi pengairan (subak), desa adat (pekraman) maupun organisasi tradisional lainnya
degradasi juga kekawatiran terjadi terhadap hal-hal yang dinilai sakral dan meningkatnya rasionalitas pikiran manusia dalam memandang sesuatu.Hal itu menimbulkan kecemasan terhadap kerusakan lingkungan serta semakin rendahnya daya dukung lingkungan akibat pertumbuhan penduduk yang kurang terkendali, umumnya akibat faktor pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.
Konflik perebutan sumber daya alam seperti air yang tadinya untuk keperluan pengairan pertanian yang terhimpun dalam wadah subak, akibat pertambahan penduduk kini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat sekitarnya.Demikian pula rendahnya tingkat pendidikan dan ketahanan ekonomi, menjadikan petani menjual lahan garapannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Hal itu menyebabkan kemiskinan semakin bertambah, pada satu sisi hamparan lahan pertanian yang tadinya menghijau dan lestari itu berubah menjadi vila atau tempat pemukiman. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sehingga sangat melemahkan upaya perlindungan terhadap kearifan lokal maupun dalam menanggulangi kerusakan lingkungan.Oleh sebab itu ke depan menurut Luh Kartini perlu upaya yang maksimal peran dan fungsi lembaga adat seperti desa pekraman (adat), subak dan lembaga tradisional lainnya yang diwarisi secara turun temurun di Bali.
Selain itu menggali dan merevitalisasi kearifan budaya yang bernuansa lingkungan yang masih banyak tersimpan dalam sumber-sumber sejarah, kesusastraan klasik maupun dari sumber masyarakat tradisional lainnya
degradasi juga kekawatiran terjadi terhadap hal-hal yang dinilai sakral dan meningkatnya rasionalitas pikiran manusia dalam memandang sesuatu.Hal itu menimbulkan kecemasan terhadap kerusakan lingkungan serta semakin rendahnya daya dukung lingkungan akibat pertumbuhan penduduk yang kurang terkendali, umumnya akibat faktor pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.
Konflik perebutan sumber daya alam seperti air yang tadinya untuk keperluan pengairan pertanian yang terhimpun dalam wadah subak, akibat pertambahan penduduk kini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat sekitarnya.Demikian pula rendahnya tingkat pendidikan dan ketahanan ekonomi, menjadikan petani menjual lahan garapannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya.
Hal itu menyebabkan kemiskinan semakin bertambah, pada satu sisi hamparan lahan pertanian yang tadinya menghijau dan lestari itu berubah menjadi vila atau tempat pemukiman. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sehingga sangat melemahkan upaya perlindungan terhadap kearifan lokal maupun dalam menanggulangi kerusakan lingkungan.Oleh sebab itu ke depan menurut Luh Kartini perlu upaya yang maksimal peran dan fungsi lembaga adat seperti desa pekraman (adat), subak dan lembaga tradisional lainnya yang diwarisi secara turun temurun di Bali.
Selain itu menggali dan merevitalisasi kearifan budaya yang bernuansa lingkungan yang masih banyak tersimpan dalam sumber-sumber sejarah, kesusastraan klasik maupun dari sumber masyarakat tradisional lainnya
Pertumbuhan penduduk menjadi kecemasana tersendiri bagi kerusakan lingkungan dan semakin rendahnya daya dukung lingkungan akibat pertumbuhan penduduk yang kurang terkendali diuraikan dengan terjadinya bencana kelaparan dan perebutan sumber daya alam dan lingkungan akibat pertumbuhan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali.
Masyarakat :
Pulau Bali yang dijuluki Pulau Dewata tersohor akan kekayaan budayanya yang memukau tidak hanya bagi penduduk nusantara, tapi juga warga dunia. Kebudayaan Bali yang erat kaitannya dengan agama Hindu memang bernilai estetis, eksotis serta (bagi sebagian orang) bernuansa mistik. Hal-hal inilah yang membentuk karakteristik kebudayaan Bali menjadi demikian unik hingga mengundang banyak orang dari seantero jagad untuk berkunjung ke Bali demi melihat serta mempelajari kebudayaan Bali. Film Eat,Pray, Love, yang dibintangi oleh aktris Julia Roberts, mengilustrasikan ‘fungsi’ pulau Dewata bagi warga dunia tidak hanya sebagai tempat rekreasi atau pelesiran, tetapi juga ‘wadah’ pencarian ketenangan dan hakekat kehidupan. Identifikasi kebudayaan Bali dengan ke-Hindu-an memang telah menjadi rahasia umum. Identitas ke-Hindu-an itulah yang seakan menutupi adanya variasi dalam kebudayaan Bali. Bagi masyarakat awam diluar Bali, sepintas memang tidak dapat melihat adanya berbagai varian dalam kebudayaan masyarakat Bali. Namun, faktanya secara sosio-kultural kebudayaan Bali terbagi dalam dua sub-kultur, yakni Bali Aga dan Bali Majapahit. Masyarakat pendukung kebudayaan Bali Aga merupakan sebagian dari orang Bali yang tidak atau kurang mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa-Majapahit dan agama Hindu Dharma (Danandjaja, 1985). Masyarakat Bali Aga berdomisili di daerah pegunungan serta pedalaman, karena itu dinamakan Aga yang dalam kamus bahasa Kawi artinya gunung. Sembiran, Trunyan, Tigawasa, Pedawa dan Pegringsingan adalah beberapa desa yang didiami masyarakat Bali Aga. Desa-desa tersebut berada di Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Karangasem. Masyarakat Bali Aga atau Bali Mula dapat disebut juga sebagai penduduk asli Pulau Bali sebelum datangnya pengaruh kebudayaan Jawa-Majapahit yang kental nuansa Hindu-Dharma. Sementara masyarakat Bali Majapahit atau wong Majapahit adalah masyarakat Bali yang telah terpengaruh budaya Jawa-Majapahit pasca invasi Majapahit ke pulau tersebut. Kitab Negarakertagama mencatat invasi Majapahit terjadi ditahun 1343 dibawah pimpinan Patih Gajah Mada, yang ketika itu tengah berusaha mewujudkan sumpahnya untuk mempersatukan (baca: menaklukkan) nusantara atau yang lebih dikenal dengan istilah “Sumpah Palapa”. Wong Majapahit merupakan bagian terbesar dari populasi di Pulau Bali kini. Mereka tinggal didaerah dataran rendah serta membentuk kebudayaan yang kental dengan nuansa Hindu Majapahit (Bagus, 1999).
Perbedaan yang mendasar antara masyarakat Bali Aga dengan Bali Majapahit terlihat pada sistem sosialnya. Orang Bali Aga sejak masa sebelum datangnya invasi Majapahit hingga kini tidak mengenal sistem kasta dalam tatanan masyarakatnya. Pada masa Bali kuno/pra-Majapahit, struktur masyarakat ketika itu diisi oleh empat kelompok yang dikenal dengan Catur Varna dalam agama Hindu, yakni Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Pembagian masyarakat pada masa Bali kuno yang disebut sistem Catur Varna tersebut lebih bersifat fungsional-horizontal, bukan genetis-vertikal seperti sistem kasta dalam masyarakat India. Sistem Catur Varna yang sifatnya horizontal perlahan mulai pudar pasca masuknya pengaruh Majapahit melalui invasi tahun 1343. Sebagaimana yang kita ketahui, sistem kemasyarakatan Majapahit berbasis pada tatanan feodal-prebendal yang hirarkis sifatnya. Hal ini bercampur baur dengan sistem kasta yang juga menonjol dalam tatanan masyarakat Majapahit. Oleh karena hegemoni budaya Majapahit itulah, sistem sosial Bali mulai berubah menuju pada sistem Wangsa yang mirip dengan kasta di India. Kategorisasi sosial ditentukan oleh garis keturunan dengan mobilitas antar kelompok yang tertutup. Dalam perkembangan selanjutnya, sistem Wangsa digunakan sebagai instrumen diskriminatif dari kalangan petinggi Majapahit terhadap orang Bali Aga yang masih melanjutkan sistem budaya egaliter Bali kuno. Sistem wangsa dipakai penguasa Majapahit untuk membedakan wong Majapahit yang diberi perlakuan istimewa (misalnya dalam distribusi pengairan subak) dengan orang Bali Aga yang sudah terdesak ke daerah pegunungan.
Sistem Kemasyarakatan Orang Bali
Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat. Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat dari bale banjar adalah bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang menyangkut adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Subak
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
Subak di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana ia mempunya sebidang sawah.
Sekaha
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
Dalam kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi (perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain. sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari organisasi banjar maupun desa.
Gotong - Royong
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Dalam kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitet di sawah (seperti menenem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga (memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainaya), dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keprluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Meskipun zaman keemasan Majapahit yang mengakibatkan polarisasi dalam masyarakat Bali telah berlalu, namun egalitarianisme masyarakat Bali Aga tetap terjaga. Sampai sekarang, niscaya tidak akan ditemukan adanya susunan masyarakat Bali Aga yang terstratifikasi dalam kasta atau kelas secara kaku dan dengan batasan antar kelas yang tegas. Sistem sosial masyarakat Bali Aga yang egaliter dan demokratis masih tetap dipertahankan hingga kini di desa-desa tempat orang-orang Bali Aga bermukim. Penelitian etnografi yang dilakukan James Danandjaja di salah satu desa Bali Aga, Trunyan, pada tahun 1975 menemukan fakta mengenai kehidupan sosial yang demokratis dalam interaksi antara warga dan pimpinan desa tersebut. Bahkan pernah terjadi ‘pembangkangan’ warga desa terhadap keputusan pemimpin desa untuk mengadakan upacara purnama kepitu yang dianggap sepihak oleh warga desa (Danandjaja, 1985).
Situasi masyarakat Bali Aga yang tetap survive dengan kebudayaan Bali Mula dapat dilihat sebagai perlawanan kultural terhadap hegemoni budaya Majapahit. Salah satu bentuk perlawanan kultural yang lainnya adalah penggunaan bahasa Bali yang berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat Bali mainstream. Masyarakat Bali Aga menggunakan bahasa Bali yang dianggap kasar oleh kebanyakan orang Bali (Majapahit), yakni bahasa Bali nista. Orang Bali Aga tidak mengenal tingkatan bahasa seperti layaknya masyarakat Bali pada umumnya yang telah terpengaruh budaya feodalisme Majapahit.
Dalam suprastruktur masyarakat feodal, strata bahasa memang kerap dijumpai karena berfungsi sebagai simbol keagungan atau prestise kalangan elit feodal dalam masyarakat bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Bali di dataran rendah yang terkontaminasi budaya feodal Majapahit. Demikian juga halnya dengan masyarakat Sunda Priangan yang pernah dijajah oleh kekuasaan feodal Mataram, hingga akhirnya mengenal undak-unduk basa hingga kini.
Dimasa kini, konflik kultural antara orang Bali Aga dengan wong Majapahit sudah tidak ‘sepanas’ dahulu lagi, oleh karena sistem wangsa dikalangan penduduk Bali majapahit pun telah meluntur secara perlahan. Namun, pranata-pranata feodal seperti penggunaan nama, kategorisasi sosial berdasarakan keturunan dan strata bahasa masih ditemukan pada masyarakat Bali Majapahit. Bahkan stigmatisasi terhadap orang Bali Aga sebagai orang yang masih belum beragama Hindu secara ‘penuh’ masih kerap ditemukan dikalangan orang Bali Majapahit. Dan pada saat yang bersamaan pula, masyarakat Bali Aga tetap mempertahankan karakteristik kebudayaannya yang egaliter, demokratis dan sosialistis.
Kebudayaan:
Banyak prestasi hidup masyarakat Bali yang tidak mendapat perhatian. Prestasi hidup masyarakat dalam mengolah pikir dan rasa yang dikaitkan dengan respons positif mereka terhadap lingkungannya, telah membuahkan banyak hasil berupa benda-benda budaya fisik yang sangat menakjubkan. Teknologi itu adalah “perpanjangan tangan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya”, maka teknologi yang telah dicapai masyarakat Bali masa lalu telah begitu beragam jenis dan bentuknya. Bentuk-bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Bali masa lalu perlu mendapat tempat khusus dalam catatan sejarah Bali. Semua prestasi itu harus menjadi bahan ajar yang membanggakan bagi generasi penerus.
Banyak benda hasil olah pikir dan rasa masyarakat yang menunjukkan bentuk-bentuk kearifan lokal, sebagai respons positif untuk menyelaraskan keperluan kegiatan dengan lingkungan. Sejak masa lalu, masyarakat Bali telah mampu merespons keperluan mengabadikan data tertulis dalam bentuk lembaran naskah. Salah satu di antara bahan yang digunakan sebagai bahan lembaran naskah yang pernah dikembangkan sebagai sarana dokumentasi data tertulis adalah lembaran daun lontar. Masyarakat Bali masa lalu, sebagaimana masyarakat Indonesia lainnya, memiliki budaya tulis di atas daun lontar.
Budaya tulis di atas lembaran daun lontar adalah budaya masa lalu. Di Bali, khususnya di kawasan Bungkulan, Kabupaten Buleleng, ada yang istimewa. Hingga kini, budaya tulis di atas daun lontar masih terus berlanjut dalam bentuk naskah-ilustrasi, yang lebih dikenal dengan sebutan prasi.
Prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang. Kedua bagian prasi ini dibuat dengan cara khusus, menggunakan alat tulis/gambar khusus, yaitu sejenis pisau. Dengan cara melukai permukaan daun lontar yang telah diolah siap-tulis, pembuat prasi mengatur tulisan dan gambar di atas permukaan lahan-tulis tersebut. Selanjutnya, untuk menunjukkan hasil goresan agar bisa dilihat, dibaca, permukaan lontar dilaburi minyak yang telah dicampur dengan jelaga. Warna hitam jelaga itu menjadi pengisi goresan-goresan yang telah dibuat, sementara bagian lain yang tidak berisi goresan dibersihkan kembali. Secara pasti, prasi adalah tulisan dan gambar yang menjorok ke dalam permukaan daun lontar (mirip dengan pola gambar hasil proses etching, etsa). Karena berbentuk luka-gores, tulisan dan gambar menjadi aman, awet, dan tak bisa diganti. Mengganti tulisan atau gambar berarti merusak permukaan lontar. Sebagai dokumen, naskah di atas permukaan lontar aman dari upaya pengubahan. Segala perubahan, kecuali penambahan goresan tertentu yang “sejalan” dengan tulisan dan gambar yang asli, bisa dilihat secara kasat mata.
Fungsi prasi masa kini banyak yang telah menyimpang dari fungsi awal. Kini, prasi telah menjadi benda koleksi semata yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan fungsi awal prasi. Para seniman prasi masih membuat prasi sehubungan dengan pesanan para pembeli. Pemungsian prasi sebagai lembar cerita, sebagai “buku” cerita, (sangat) sulit ditemukan lagi. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali tetap dianggap penting.
Individu:
teori termodinamika dan teori chaos, yang menyatakan bahwa perubahan sedikit saja pada titik awal akan mampu memengaruhi dan bahkan mengubah keseluruhan lainnya, mungkin bisa dijadikan pijakan untuk menelusuri akar kekerasan orang Bali. Hal ini juga senada dengan teori yang dinyatakan oleh Erich Fromm tentang akar kekerasan yang menyatakan bahwa agresi yang dilakukan oleh manusia berhubungan dengan narsisme. Masyarakat yang terbentuk dari individu-individu narsis akan menciptakan masyarakat narsis. Satu anggota dari masyarakat tersebut merasa terlecehkan simbol kenarsisannya, maka individu-individu lainnya merasakan hal yang sama dan memunculkan kemarahan yang bersifat kolektif. Kemarahan yang kolektif ini memiliki kekuatan besar untuk menghancurkan apa pun yang ada di depannya. Viveka individu yang ada di masing-masing orang telah melebur ke dalam narsisme massal. Jadi menjunjung citra diri yang berlebihan tersebut menjadi akar kekerasan yang berakibat fatal.
Namun, tindakan kecil yang bersifat individu seperti perkelahian antarpemuda yang berbuntut pada kekerasan antarkelompok jika dikembalikan ke dalam ajaran agama Hindu tentang konsep Hukum Karma menjadi tidak sesuai. Hukum ini menyatakan bahwa besarnya penyebab harus equal dengan besarnya akibat. Bagaimana mungkin menanam sebatang pohon kekerasan kemudian berakibat pada panen berton-ton kehancuran? Dalam hal ini pemicu yang kecil itu bukanlah ''penyebab'', tetapi ''akibat awal''. Seperti halnya pohon pinus yang bergesekan terlalu lama, percikan api awal adalah pemicu terjadinya kebakaran hutan yang luas.
Mencabut Akarnya
Oleh karena demikian, gejala awal sekecil apa pun adalah sebuah akibat yang bisa merembet dan sangat membahayakan. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mencari penyebabnya? Menurut ajaran Vedanta, akar permasalahan yang harus dicabut terletak di dalam kualitas diri individu masing-masing. Diri individu yang telah tercemari oleh berbagai polusi konsumerisme, kapitalisme, dan lain-lain yang datang dari ''luar'', serta tembok-tembok klan, wangsa, suku, dan keegoan lainnya yang ditumbuhkan di ''dalam'' mesti dimurnikan.
Oleh karena demikian, gejala awal sekecil apa pun adalah sebuah akibat yang bisa merembet dan sangat membahayakan. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana mencari penyebabnya? Menurut ajaran Vedanta, akar permasalahan yang harus dicabut terletak di dalam kualitas diri individu masing-masing. Diri individu yang telah tercemari oleh berbagai polusi konsumerisme, kapitalisme, dan lain-lain yang datang dari ''luar'', serta tembok-tembok klan, wangsa, suku, dan keegoan lainnya yang ditumbuhkan di ''dalam'' mesti dimurnikan.
Sekilas jika kita lihat kegiatan keagamaan masyarakat Bali khususnya untuk menyucikan diri, baik dalam skala individu manusia maupun buana, telah banyak dilakukan. Demikian juga pelaksanaan awig-awig adat telah diupayakan untuk dijalankan secara maksimal. Tetapi hal ini tidak mampu membendung terjadinya berbagai kekerasan yang melibatkan massa. Dalam konteks ini pelaksanaan keagamaan dan awig-awig bisa dinyatakan telah gagal. Namun bukan berarti pelaksanaan tersebut yang salah, melainkan api semangat bagaimana melaksanakan hal itu yang mesti dipertanyakan. Ketika masing-masing individu orang Bali tampak telah melakukan penyucian diri dengan baik, tetapi tetap terjadi kekerasan yang nyata-nyata bertentangan dengan tindakan kesucian tersebut, maka tindakan keagamaan dewasa ini bisa dikatakan tidak berbeda dengan fashion show. Mempertontonkan diri agar tampak telah menjadi religius, agar tampak telah memenuhi kewajiban melaksanakan ajaran leluhur, atau yang lebih parah, agar apa yang diperagakan bisa dijual demi keuntungan. Akar kelemahan ini mesti dicabut dan mesti menumbuhkan ''akar' kemurnian yang mampu memberikan nutrisi secara maksimal kepada ''daun-daun'' masyarakat.
Pentingnya Vedanta
Penyelesaian masalah ini tidak mungkin hanya dengan cara-cara pragmatis. Yang mesti dipakai untuk menyelesaikan masalah ini adalah wacana-wacana yang mampu memunculkan kesadaran yang bersifat ideal. Menguraikan fakta-fakta tersebut dan menawarkan solusi per kejadian tidak banyak membantu menuntaskan permasalahan. Membangun kesadaran masing-masing individu tentang pentingnya nilai-nilai etika Vedanta seperti Tat Twam Asi (Aku adalah itu), Wasudaiwa Kutumbhakam (semua orang berada dalam rumah yang sama), Aham Brahmasmi (aku tidak berbeda dengan Tuhan), dan lain sebagainya yang sejenis menjadi sangat penting dan signifikan.
Penyelesaian masalah ini tidak mungkin hanya dengan cara-cara pragmatis. Yang mesti dipakai untuk menyelesaikan masalah ini adalah wacana-wacana yang mampu memunculkan kesadaran yang bersifat ideal. Menguraikan fakta-fakta tersebut dan menawarkan solusi per kejadian tidak banyak membantu menuntaskan permasalahan. Membangun kesadaran masing-masing individu tentang pentingnya nilai-nilai etika Vedanta seperti Tat Twam Asi (Aku adalah itu), Wasudaiwa Kutumbhakam (semua orang berada dalam rumah yang sama), Aham Brahmasmi (aku tidak berbeda dengan Tuhan), dan lain sebagainya yang sejenis menjadi sangat penting dan signifikan.
Vedanta mengajak kita untuk selalu melihat ke dalam. Apa pun yang terjadi di luar hanyalah proyeksi dari apa yang terjadi di dalam. Kekerasan yang terjadi di masyarakat adalah kekerasan yang ada di dalam diri masyarakat itu sendiri. Mulatsarira dalam artian yang sesungguhnya harus tetap dilakukan agar gempuran sifat-sifat buruk, apakah yang datang dari luar maupun dari dalam bisa dihindari. Selalu berpegang pada kemurnian hati adalah semangat yang mesti terus ditumbuhkan oleh orang Bali. Kemeriahan pelaksanaan ajaran agama yang tidak diimbangi dengan kejernihan hati justru bisa berbalik, di mana pelaksanaan agama itu sendiri menjadi alat untuk menguatkan keegoan dan ketidakmurnian kita. Hal tersebutlah yang terjadi dewasa ini tanpa kita sadari. Kedalaman makna pelaksanaan keagamaan itu tidak begitu penting, tetapi gengsi penampilannya menjadi nomor satu untuk menunjukkan gengsi diri di masyarakat. Pendidikan Satu-satunya Cara
Menanamkan sesuatu yang ideal di masyarakat adalah sesuatu yang sangat sulit, tetapi hal itu bukan berarti tidak mungkin. Kemajuan peradaban ini terjadi oleh karena pendidikan yang berkelanjutan dan komprehensif. Demikian juga kemajuan karakter masyarakat akan terbangun apabila pendidikan yang berkelanjutan dan komprehensif diberikan. Nilai-nilai mulia yang diajarkan oleh Vedanta mesti diberikan sejak dini dan dilakukan secara berkesinambungan. Nilai-nilai ini bisa diberikan dengan metode dan gaya yang berbeda. Pendekatan nilai-nilai kemanusiaan, atau pendidikan budi pekerti, penguatan karakter atau apa pun namanya bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Semakin banyak orang belajar tentang dirinya, pasti makin mereka sadar bahwa sesuatu yang ada di luar dirinya tidak memiliki perbedaan dengan dirinya sendiri. Kemampuan ini mengantarkan masyarakat menjadi harmonis.
Menanamkan sesuatu yang ideal di masyarakat adalah sesuatu yang sangat sulit, tetapi hal itu bukan berarti tidak mungkin. Kemajuan peradaban ini terjadi oleh karena pendidikan yang berkelanjutan dan komprehensif. Demikian juga kemajuan karakter masyarakat akan terbangun apabila pendidikan yang berkelanjutan dan komprehensif diberikan. Nilai-nilai mulia yang diajarkan oleh Vedanta mesti diberikan sejak dini dan dilakukan secara berkesinambungan. Nilai-nilai ini bisa diberikan dengan metode dan gaya yang berbeda. Pendekatan nilai-nilai kemanusiaan, atau pendidikan budi pekerti, penguatan karakter atau apa pun namanya bisa dijadikan alat untuk mencapai tujuan tersebut. Semakin banyak orang belajar tentang dirinya, pasti makin mereka sadar bahwa sesuatu yang ada di luar dirinya tidak memiliki perbedaan dengan dirinya sendiri. Kemampuan ini mengantarkan masyarakat menjadi harmonis.
Keluarga:
Sistem Kekerabatan Orang Bali
Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Perkawinan merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali, karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistem kasta (wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali yang masih Kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogam.
Orang-orang se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam kasta, sehingga dengan berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan ketegangan-keteganagan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dari kasta yang tinggi jangan sampai kawin dengan pria yang lebih rendah derajat kastanya, karena perkawinan itu akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh kasta dari anak wanita tersebut.
Dahulu, apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang (maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya. Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi, dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau denganacara melarikan seorang gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas berdasarkan adat.
Sesudah pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal dikomplek perumahan dari orang tua suami, walauntidak sedikit suami istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah baru. Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap secara uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut. Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri adalah sebagai sentana(penerus keturunan).
Suatu rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri, memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang baru. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya menggantikan dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu klen (tunggal dadia). Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai tempat di Bali. Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. didesa-desa tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib mendirikan mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang disebut kemulan taksu.
Disamping itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet anggota-anggota dari suatu klen kecil.
Di samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kuil leluhur yang sama disebut kuil (pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya, suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang ditulis dalam bentuk babad dan yang disimpan sebagai pusaka oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.
sumber: survei sendiri & buku "Island of bali" oleh Miguel
sumber: survei sendiri & buku "Island of bali" oleh Miguel
Tugas II
PEMUDA DAN SOSIALISASI
INTERNALISASI BELAJAR DAN SPESIALISASI
Didalam proses identifikasi dengan kelompok sosial serta norma-normanya itu tidak senantiasa seorang mengidentifikasi dengan kelompok tempat ia sedang menjadi anggota secara resmi. Kelompok semacam ini disebut membership-group, kelompok dimana ia menjadi anggota. Tetapi dalam mengidentifikasi dirinya dengan suatu kelompok, mungkin pula seseorang melakukannya terhadap sebuah kelompok tempat ia pada waktu itu tidak lagi merupakan anggota atau terhadap kelompok yang ia menjadi anggotanya. Dalam hal terakhir ini ia mengidentifikasi dirinyya dengan sebuah kelompok diluar membership-groupnya kelompok tempat identifikasi dirinya disebut juga reference-group.
Jadi, reference-group merupakan kelompok yang norma-normanya, sikap-sikapnya, dan tujuannya sangat ia setujui, dan ia ingin ikut serta dalam arti bahwa ia senang kepada kerangka norma, sikap, dan tujuan yang dimiliki kelompok tersebut.
PEMUDA DAN IDENTITAS
Pemuda adalah suatu generasi yang dipundaknyya terbebani bermacam-macam harapan, terutama dari generasi lain.
Proses sosialisasi generasi muda adalah suatu proses yang sangat menentukan kemampuan diri pemuda untuk menselaraskan diri di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu pada tahapan pengembangan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya dan belajar pada berbagai media sosialisasi yang ada dimasyarakat.
a. Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda
Pola Dasar Pembinaan dan Pengembangan Generasi Muda ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor : 0323/U/1978 tanggal 28 Oktober 1978. Maksud dari Pola Pembinaan dan Pengembangan generasi Muda adalah agar semua pihak yang turut serta dan berkepentingan dalam penanganannya benar-benar menggunakan sebagai pedoman sehingga pelaksanaannya dapat terarah, menyeluruh dan terpadu serta dapat mencapai sasaran dan tujuan yang dimaksud.
b. Masalah dan Potensi Generasi Muda
1) Permasalahan Generasi MudaBerbagai permasalahan generasi muda yang muncul pada saat ini antara lain :
a) Dirasa menurunnya jiwa idealisme, patriotisme dan nasionalisme dikalangan masyarakat termasuk generasi muda.
b) Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya.
c) Belum seimbangnya antara jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia, baik yang formal maupun non formal.
d) Kurangnya lapangan kerja / kesempatan kerja serta tingginya tingkat pengangguran / setengah pengangguran di kalangan generasi muda.
e) Kurangnya gizi yang dapat menyebabkan hambatan bagi perkembangan kecerdasan dan pertumbuhan badan dikalangan generasi muda.
f) Masih banyaknya perkawinan dibawah umur, terutama dikalangan masyarakat pedesaan.
g) Pergaulan bebas yang membahayakan sendi-sendi perkawinan dan kehidupan keluarga.
h) Meningkatnya kenakalan remaja termasuk penyalahgunaan narkotika.
i) Belum adanya peraturan perundangan yang menyangkut generasi muda.
2) Potensi-potensi Generasi Muda / Pemuda
Potensi-potensi yang terdapat pada generasi muda perlu dikembangkan adalah :
a) Idealisme dan daya kritis
Secara sosiologis generasi muda belum mapan dalam tatanan yang ada.
b) Dinamika dan kreatifitas
Adanya idealisme pada generasi muda.
c) Keberanian mengambil resiko
Perubahan dan pembaharuan termasuk pembangunan, mengandung resiko dapat meleset, terhambat atau gagal.
d) Optimis dan kegairahan semangat
Kegagalan tidak menyebabkan generasi muda patah semangat.
e) Sikap kemandirian dan disiplin murni
Generasi muda memiliki keinginan untuk selalu mandiri dalam sikap dan tindakannya.
f) Terdidik
Walaupun dengan memperhitungkan faktor putus sekolah, secara menyeluruh generasi muda secara relatif lebih terpelajar karena lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi pendahulunya.
g) Keanekaragaman dalam persatuan dan kesatuan
Keanekaragaman generasi muda merupakan cermin dari keanekaragaman masyarakat kita.
h) Patriotisme dan nasionalisme
Pemupukan rasa kebanggaan, kecintaan dan turut serta memiliki bangsa dan negara di kalangan generasi muda.
i) Sikap kesatria
Kemurnian idealisme, keberanian, semangat pengabdian dan pengorbanan serta rasa tanggung jawab sosial yang tinggi.
j) Kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi
Generasi muda dapat berperan secara berdaya guna dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi bila secara fungsional.
PERGURUAN DAN PENDIDIKAN
A. Mengembangkan Potensi Generasi Muda
Dinegara-negara berkembang sedang mencoba untuk melaksanakan program-program indusrialisasiyang menuntut tenaga-tenaga terampil berkualitas tinggi.
Sedangkan di negara-negara maju pada umumnya generasi muda mendapat kesempatan luas dalam mengembangkan kemampuan dan potensi idenya.
B. Pendidikan dan Perguruan Tinggi
Arti penting dari pendidikan sebagai upaya untuk terciptanya kualitas sumber daya manusia, sebagi prasarat utama dalam pembangunan. Tetapi masalah pendidikan bukan saja masalah pendidikan formal, tetapi pendidikan membentuk manusia-manusia membangun. Dan untuk itu diperlukan kebijakan terarah dan terpadu di dalam menangani masalah pendidikan ini.
dikutip dari : http://jamiroquai-kamaludin.blogspot.com/2010/11/pemuda-dan-sosialisasi.html
Warga & Negara
Dalam sistem kewarganegaraan di Indonesia, Kedudukan warga negara pada dasarnya adalah sebagai pilar terwujudnya Negara. Sebagai sebuah negara yang berdaulat dan merdeka Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dengan negara lain di dunia, pada dasarnya kedudukan warga negara bagi negara Indonesia diwujudkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang kewarganegaraan, yaitu :
1. UUD 1945
Dalam konteks UUD 1945, Kedudukan warga negara dan penduduk diatur dalam pasal 26 yaitu :
1.Yang menjadi warga negara ialah orang-orang warga Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
2.Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang tinggal di Indonesai.
3.Hal-hal mengenai warga negara penduduk di atur dengan UU.
2. UU No. 3 tahun 1946
Undang-undang No.3 ialah tentang warga negara dan penduduk negara adalah peraturan derivasi dibawah dibawah UU 1945 yang digunakan untuk menegakan kedudukan Negara RI dengan warga negaranya dan kedudukan penduduk negara RI.
3. UU No. 62 tahun 1958
UU No.62 tahun 1958 merupakan penyempurnaan dari UU tentang kewarga negaraan yang terdahulu. UU No. 62 tahun 1958 tenang kewarganegaraan RI merupakan produk hukum derivasi dari pasal 5 dan 144 UUD RI 1950 yang sampai saat ini masih berlaku dan tetap digunakan sebagai sumber hakum yang mengatur masalah kewarganegaraan di Indonesai setelah kurang lebih 48 tahun berlaku, dan saat ini dinilai sudah tidak sesuai lagi. Pernasalahan kewarganegaraan yang semakin kompleks ternyata tidak mampu ditampung oleh undang-undang ini.
4. UU No.12 tahun 2006
RUU Kewarganegaraan yang baru ini memuat beberapa subtansi dasar yang lebih revolusioner
dan aspiratif, seperti :
1.Siapa yang mnjadi warga negara Indonesia
2.Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia
3.Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia
4.Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia
5.Ketentuan pidana
4.Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia
5.Ketentuan pidana
Persamaan Kedudukan Warga Negara Indonesia
Warga negara adalah sama kedudukannya, hak dan kewajibannya. Setiap individu mendapat perlakuan yang sama dari negara. Ketentuan ini secara tegas termuat dalam konstitusi tertinggi kita, yaitu UUD 1945 Bab X sampai Bab XIV pasal 27 sampai pasal 34. berikut ini dijelaskan secara lebih rinci terntang persamaan kedudukan warga negara, dalam berbagai bidang kehidupan.
1. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintah
Pasal 27 ayat (1) menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal ini juga memperlihatkan kepada kita adanya kepedulian adanya hak asasi dalam bidang hukum dan politik.
2. Persamaan atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (ekonomi)
Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Pasal ini memencarkan persamaan akan keadilan sosial dan kerakyatan. Ini berarti hak asasi ekonomi warga negara dijamin dan diatur pelaksanaanya.
3. Persamaan dalam hal kemerdekaan berserikat dan berkumpul (politik)
Pasal 28 E ayat (3) menetapkan warga negara dan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Pasal ini mencerminkan bahwa negara Indonesia bersifat demokratis dan memberi kebebasan yang bertanggung jawab bagi setiap warga negaranya untuk melaksanakan hak dan kewajibannya dalam bidang politik.
4. Persamaan dalam HAM
Dalam Bab X A tentang hak asai manusia dijelaskan secara tertulis bahwa negara memberikan dan mengakui persamaan setiap warga negara dalam menjalankan HAM. Mekanisme pelaksanaan HAM secara jelas ditetapkan melalui pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.
5. Persamaan dalam agama
Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Berdasar pasal ini tersurat jelas bahwa begara menjamin persamaan setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keinginannya. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME dijalankan tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
6. Persamaan dalam upaya pembelaan negara
Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.” Lebih lanjut, pasal 30 UUD 1945 memuat ketentuan pertahanan dan keamanan negara. Kedua pasal tersebut secara jelas dapat kita ketahui bahwa negara memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara yang ingin membela Indonesia.
7. Pesamaan dalam bidang pendidikan dan kebudayaan
Pasal 31 dan 32 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam masalah pendidikan dan kebudayaan. Kedua pasal ini menunjukan bahwa begitu konsen dan peduli terhadap pendidikan dan kebudayaan warga negara Indonesia. Setiap warga negara mendapat porsi yang sama dalam kedua masalah ini.
8. Persamaan dalam perekonomian dan kesejahteraan sosial
Persamaan kedudukan warga negara dalam perekonomian dan kesejahteraan diatur dalam Bab XIV pasal 33 dan 34. pasal 33 mengatur masalah perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas asas kekeluargaan dengan prinsip demokrasi ekonomi untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Selanjutnya pasal 34 memuat ketentuan tentang kesejahteraan sosial dan jaminan sosial diman fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (pasal 1) dan negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (pasal 3).
No comments:
Post a Comment